Mengusung Tema “Jihad Santri, Jayakan Negeri”, LDII Optimis Santri Miliki Potensi untuk Sukseskan Indonesia Emas 2045
Jakarta (24/10). Sejarah Indonesia mencatat para santri yang menjadi pahlawan nasional, di antara mereka terdapat nama Pangeran Diponegoro, KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, KH Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama, KH Zainal Arifin pemimpin Hizbullah, dan masih banyak lagi. Nama mereka harum karena berjasa meletakkan pondasi yang kuat untuk kemerdakaan bangsa Indonesia.
“Mereka adalah para santri pada masa lalu telah memberikan segalanya untuk negeri ini. Di masa depan, peran santri berposisi sangat strategis. Bukan hanya sebagai penjaga dan pengawal moral bangsa, namun juga menyumbangkan pemikiran terhadap kemajuan bangsa Indonesia,” ujar Habib Ubaidillah Al Hasany pengasuh Pondok Pesantren Al Ubaidah, Nganjuk, Jawa Timur.
Ia mengatakan pada era Reformasi, para santri mewarnai politik nasional. Menurutnya, Reformasi bisa terlaksana berkat para reformis seperti Gus Dur, Nurcholis Majid, Cak Nun, hingga M. Amien Rais. Mereka semua adalah para santri yang memiliki pemikiran kenegaraan yang cemerlang.
Habib Ubaid pun mengajak para santri memperdalam ilmu agama dan pengetahuan lainnya, “Sebagai santri akhlak mulia selalu mendampingi ilmu agamanya, dan prilaku serta kebijaksanaannya selalu dituntun oleh ilmunya. Inilah yang membuat santri berbeda dibanding lainnya,” ujar Habib Ubaid.
Hal senada juga dikatakan Ketua Departemen Pendidikan Keagamaan dan Dakwah DPP LDII KH Aceng Karimullah. Era modern menuntut para santri tidak hanya memperdalam ilmu agama tapi juga soft skill. Dengan bekal keterampilan itu, mereka mampu berkontribusi di tengah masyarakat.
“Diharapkan, ketika di pesantren para santri tidak hanya mempelajari berbagai macam teori, tapi juga diberi kesempatan untuk mempelajari keterampilan, misalnya perbengkelan, tata busana, manajemen keuangan, teknik komputer, dan lain sebagainya. Sehingga ketika selesai belajar di pesantren, selain berdakwah mereka juga bisa mandiri secara ekonomi,” urainya.
Di lingkungan pesantren, sambung KH Aceng, biasanya para santri sudah dididik dan digembleng soal kedisiplinan dan kemandirian, “Ini adalah modal besar ketika mereka terjun di tengah-tengah masyarakat. Mereka sudah terbiasa qiyamul-lail, shalat subuh di awal waktu, mengikuti jadwal kegiatan harian yang terjadwal dan terkontrol,” ujarnya.
Pengasuh Ponpes Nurul Aini Cilandak itu menyebut, terdapat beberapa tantangan yang meski dihadapi santri. Di tengah masyarakat masih ada dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama atau pesantren, “Nah, begitu para santri terjun ke tengah masyarakat maka tantangannya bagaimana agar mereka bisa bersaing dengan para-alumni pendidikan umum, baik dalam membawakan diri maupun dalam penerapan ilmu mereka di tengah masyarakat,” paparnya.
Penulis buku “Somebody Asked Me” itu menegaskan dengan adanya Hari Santri Nasional, maka masyarakat disadarkan bahwa ada potensi besar yang dimiliki bangsa. Potensi itu adalah para-alumni pesantren yang banyak berkiprah pada posisi eksekutif maupun legislatif.
“Dengan berbekal ilmu dari pesantren, maka diharapkan mereka pun bisa menerapkan akhlak, budi pekerti dan tata krama yang pernah mereka pelajari dan praktekkan selama di pesantren. Sementara, kita sedang menyongsong Indonesia Emas 2045, maka perlu dipersiapkan generasi yang alim faqih, berakhlakul-karimah dan mandiri,” pungkasnya.
Terkait potensi santri, Ketua Ponpes Wali Barokah, KH Sunarto, para santri memiliki keharusan untuk terus meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
“Peringatan Hari Santri tahun ini mengusung tema “Jihad Santri Jayakan Negeri”. Tema tersebut menyiratkan dua makna sekaligus pesan yang disampaikan kepada kita semua, yakni makna historis dan makna kontekstual,” katanya.
Menurutnya dari sisi makna historis, pemerintah telah mengakui peran santri pada masa pergerakan dan perjuangan. Sementara, dari sisi kontekstual, alumni pondok pesantren harus tetap melaksanakan amar makruf nahi munkar, dakwah yang sejuk, memiliki toleransi yang tinggi, bisa saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan, keberadaan dan keyakinan kelompok masyarakat lain. Dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kesantunan dan kebajikan untuk bersama-sama memajukan bangsa dan negara, melawan kebodohan dan ketertinggalan.
“Dengan demikian, tema Hari Santri nasional “Jihad Santri, Jayakan Negeri”, bermakna jihad intelektual, di mana para santri berjuang bersama komponen masyarakat lain, dengan berbekal ilmu pengetahuan bisa memberikan kontribusi yang maksimal dalam mencerdaskan dan menyejahterakan masyarakat,” pungkas KH Sunarto. (KIM/BIL)